Sinterklas versus Santa Claus
Sinterklas versus Santa Claus
Selain pohon terang atau cemara berkelap-kelip, ada satu figur yang selalu dimunculkan menjelang Natal. Dia adalah sesosok kakek baik hati yang selalu memberikan hadiah untuk anak-anak yang berkelakuan baik. Siapa sesungguhnya kakek jenggot tersebut?
SOSOK kakek baik hati itu memang cukup eye catching sekaligus imut. Badannya gendut, bajunya merah menyala dengan hiasan putih, dan sepatunya boot hitam. Jenggotnya putih bersih dengan pipi kemerahan serta tawa ho ho ho yang ramah.
Namun, bukan itu yang dinanti anak-anak di seluruh dunia, termasuk di metropolis, dalam diri sosok tersebut. Kakek baik hati itu selalu menyandang karung besar berisi aneka hadiah. Di malam Natal, dia akan terbang dari Kutub Utara naik kereta yang ditarik rusa terbang. Dalam kesunyian malam, si kakek akan masuk lewat cerobong asap dan meletakkan kado Natal untuk anak-anak yang berkelakuan baik.
Ya, itulah sosok Santa Claus. Sebagian kalangan menyebutnya Sinterklas, sebuah sebutan yang diturunkan dari tradisi masyarakat Belanda. Kehadiran Santa Claus seolah menjadi ikon tersendiri yang tak bisa dilepaskan dari tradisi Natal.
Menurut, salah seorang pastor di Paroki, perwujudan Santa Claus atau Sinterklas diilhami tokoh nyata. Yaitu, Santo Nicholas. ”Dia ditahbiskan sebagai pastor pada usia 18 di Vatikan,” ujar Romo Eko.
Sejarah gereja menyebutkan, Nicholas adalah seorang uskup di Myra (sekarang Turki, Red) pada abad ke-4. Dia dikenal sangat dermawan. Nicholas suka menyantuni orang miskin.
Kedermawanannya begitu melegenda. Seiring perjalanan waktu, legenda itu lantas bercampur mitos yang diturunkan dari mulut ke mulut secara tradisional.
Kisahnya juga lantas dikaitkan dengan Natal, saat indah ketika orang-orang saling berbagi kado dan kebahagiaan. Santo Nicholas lantas disebut dengan banyak nama di berbagai negara. Orang Jerman mengenal dia sebagai Weihnachtsmann, orang Prancis menyebutnya Pere Noel, dan orang Spanyol memanggilnya Papa Noel. Orang Belanda menyebutnya Nikolas untuk Sinterklas. Penyebutan itulah yang lantas dikenal di Amerika sebagai Santa Claus. Orang Indonesia sendiri menyebutnya Sinterklas atau Santa Claus.
Padahal, dari sisi cerita, Sinterklas dan Santa Claus sejatinya begitu berbeda. Ada perbedaan mendasar antara keduanya, Santo Nicholas adalah pastor, sedangkan Santa Claus bukan. Santo Nicholas populer di Eropa, sedangkan Santa Claus dipopulerkan di Amerika. ”Di Amerika, figur Santa Claus mengalami pembiasan makna besar-besaran,” ungkapnya.
Sosok dan dongeng Sinterklas dan Santa Claus pun begitu berbeda. Sinterklas mewujud dalam kakek yang berpakaian ala uskup. Dia memakai mitra (topi dengan bagian atas berkerucut), casula (jubah untuk memimpin misa), plus tongkat gembala keuskupan. Sedangkan Santa Claus adalah kakek tua bermantel salju merah.
Sinterklas juga tampil sebagai orang biasa yang dermawan. Sedangkan Santa Claus dikisahkan sebagai ”kakek” sakti yang bermarkas di Kutub Utara, lalu terbang keliling dunia dengan kereta yang ditarik rusa.
Di Amerika, tambah dia, Sinterklas telah berubah menjadi ”tenaga pemasaran” yang menganjurkan konsumsi berlebihan di masa Natal. Tidak heran. Sebab, karakter Santa Claus yang dikenal seluruh dunia selama ini sesungguhnya merupakan hasil rekayasa Haddon Sundblom, manajer humas Coca-Cola. ”Figur itu dibuat untuk keperluan iklan Coca-Cola pada 1931-1964,” tandasnya.
Bukan Tradisi Gereja
Gereja, tutur Romo Eko, tidak keberatan dengan adanya Santa Claus atau Sinterklas yang memiliki bentuk fisik yang berbeda dengan Santo Nicholas. Namun, menurut dia, akan lebih baik jika umat tidak membiasakan tradisi tersebut di dalam gereja. ”Secara tradisi, Santa Claus atau Sinterklas tidak berhubungan langsung dengan kelahiran Yesus Kristus. Terus kenapa harus dipertahankan?” ucapnya.
Hal serupa diungkapkan oleh Pendeta Djusianto, salah seorang pendeta di Gereja Kristen Indonesia (GKI) Residen Sudirman. Menurut dia, tradisi Sinterklas meski terlihat baik bagi anak-anak akan lebih baik jika tradisi seperti itu tidak dilakukan di dalam gereja. ”Selain tidak ada hubungannya secara langsung dengan Yesus, dia juga bukanlah tradisi asli Indonesia,” ujar Djusianto.
Memang, kisah Santa Claus atau Sinterklas punya sisi baik yang bisa diperoleh anak-anak. Misalnya, seseorang harus menjadi baik agar mendapatkan hadiah dari Sinterklas dan lain-lain. ”Namun, seharusnya umat Kristen diajari bahwa hadiah terbesar di hari Natal adalah kedatangan Yesus Kristus itu sendiri,” tegasnya.
Romo Eko menambahkan, ironis bahwa pada zaman ini, Santa Claus lebih senang berada di mal sambil memangku dan mengelus anak-anak orang berada ketimbang menolong orang yang kekurangan. ”Padahal, jika Santo Nicholas yang asli hidup di Indonesia, sangat mungkin dia memilih diam-diam mendatangi barak-barak pengungsi korban konflik, bencana alam, dan orang-orang yang lebih membutuhkan,” tambahnya.
Dalam perayaan Natal tahun ini, ujarnya, tepat bagi umat untuk melakukan demitologi atas sosok Sinterklas, untuk kembali meneladani Santo Nicholas dalam hal kemurahan dan kepeduliannya terhadap sesama yang kurang beruntung. ”Bukankah itu juga makna kedatangan bayi Yesus yang sesungguhnya?” ujarnya.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda